Aku susah nyemapet titek airmataku – cerito Francisca sajuruh tragedi 1965

Aku susah nyemapet titek airmataku – cerito Francisca sajuruh tragedi 1965

Ketika berusia 80 tahun, pada tanggal 21 Agustus 2005 di negara Belanda, Francisca memberikan kesaksian mengenai pengalaman hidupnya dalam sebuah acara yang terbatas.

Selama ini hidup saya penuh dengan kejadian yang tiba-tiba terjadi, ditulis dalam esai singkat berjudul Evaluasiku terhadap masa sekarang berdasarkan pengalaman masa lalu.

Peristiwa-peristiwa tiba-tiba itu disebutnya berganti-ganti antara keberhasilan dan kegagalan, kerugian dan kemenangan, gelak tawa dan air mata.

Dia lalu berkata, dalam hidup setiap individu, terkadang takdir bisa merubah jalannya.

Dan kita harus menjalani rute lain dalam perjalanan kehidupan kita, kata Sisca – panggilan akrabnya – yang lahir di Noel Mina, Timor, pada tanggal 16 Agustus 1925.

Kemudian dia menulis: Dalam kehidupan [saya] telah terjadi beberapa kali, seperti pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pada tanggal 30 September 1965.

Khususnya tentang kejadian tumult 1965, dalam catatan pribadinya yang berjudul Perempuan Pemberontak (2006, Yogyakarta: Galangpress), Francisca mengatakan singkat namun penuh kesedihan.

Bocah-bocah masih kecil… Menulis ini. Sebelum aku pergi ke Aljazair dan kemudian ke Chile, aku tinggal hanya dengan beberapa lembar uang kertas saja dalam ingatanku. Sedikit pun tidak kuhitungi.

Dalam catatan pribadinya, dia mengakui peristiwa G30S sama sekali tidak terduga baginya dan menggambarkannya sebagai kilat di tengah hari.

Sama sekali aku tak mengerti, lagi paham, akunya.

Di saat-saat sulit tersebut, Sisca memang sering berada di luar negeri. Pada tahun 1964, selaku wakil dari DPR-GR di Komisi Hubungan Luar Negeri, beliau turut serta dalam kunjungan Presiden Sukarno ke Aljazair untuk persiapan Konferensi Asia Afrika ke-3.

Beliau kemudian terbang ke Helsinki untuk menghadiri Konvensyen Kekamanan Sedunia pada tahun 1965.

Sebentar setelah itu, Sisca mengunjungi kongres Pers Dunia di Chili, pada tanggal 28 Oktober 1965. Sejak itu, dia tidak pernah bisa kembali ke Indonesia setelah terjadi peristiwa G30S.

Lalu, beliau menghadiri Persidangan Trikontinental di Havana, Kuba, pada bulan Januari 1966. Dokumen identitasnya telah dianggap tidak sah sejak saat itu.

Beberapa keterangan mengatakan, dia kemudian melakukan perpindahan dari Kuba, Cina (selama 20 tahun), sebelum akhirnya kppnliwa.org tiba di Belanda pada tahun 1985, dengan memanfaatkan paspor provisional dari Kuba yang diberikan oleh Fidel Castro.

Pulanglah ke peristiwa malang tahun 1965. Walaupun tidak menyangka akan terjadi peristiwa seburuk itu, Sisca merasakan bahwa akan terjadi bencana besar.

Dan akan terjadi bencana besar, dan aku tidak akan pernah kembali untuk waktu yang sangat lama, katanya.

Setiap kali aku memikirkan masa lalu, terutama hari-hari kemarin, susah untuk menahan rasa sedihku.

Kalimat ini merupakan akhir dari buku kenangan yang dikarang oleh mantan tahanan politik tahun 1965, Hersri Setiawan.

Dalam buku Pesindo, yang ditulis oleh Norman Joshua Soelias pada tahun 2016, Francisca memberikan kesaksian.

Sebagai seorang mama, aku ninggalin anak-anakku yang waktu itu masih cilik. Ini bukan untuk kepentingan saya, tetapi untuk keselamatan mereka!

Ucapan yang diucapkan oleh Sisca telah diambil oleh penulis buku itu dari film dokumenter r.i (2011) karya Andrew Dananjaya.

Tahun itu sungguh menjadi tahun yang tidak pernah berakhir bagi Francisca, di mana ia harus meninggalkan kehidupan, pekerjaan, dan keluarganya karena kondisi politik, ungkap Norman Joshua dalam bagian penutup buku tersebut.