Bagaimana kondisi dan kebutuhan anak yang menjadi korban saat ini?

Bagaimana kondisi dan kebutuhan anak yang menjadi korban saat ini?

“Kondisi psikologis anak stabil, meskipun terkadang ia masih sering menangis di sekolah,” ungkap Agus Herawan, Plt Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2PA) Kabupaten Demak.

Agus juga mengungkapkan bahwa kondisi psikologis ibu dari anak korban juga “stabil”.

“Namun, bapaknya kadang masih menunjukkan emosi ketika ada yang membicarakan kasus yang menimpa anaknya,” tambahnya.

Saat ini, Agus menyatakan bahwa anak korban dan orang tuanya memerlukan dukungan psikis untuk menghadapi persidangan.

Dia mengklaim bahwa Dinas Sosial telah memberikan “pendampingan psikis kepada korban dan orang tuanya”.

“Selain itu, kami juga bekerja sama dengan pihak sekolah untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi korban di sekolah, sehingga ia bisa kembali belajar dengan baik tanpa mengalami perundungan,” jelasnya.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Demak, Haris Wahyudi Ridwan, mengatakan bahwa anak korban tetap menjalani pendidikan seperti biasa. Dia memastikan bahwa pendidikan anak tersebut akan terus berjalan.

Proses hukum juga akan terus berlanjut, dan click here sejauh ini belum ada indikasi untuk diversi—usaha pengalihan proses penyelesaian perkara anak menjadi alternatif demi kepentingan terbaik anak.

“Anak-anak yang lainnya (Anak Saksi) tetap sekolah seperti biasa, dan kami menekankan kepada para guru serta kepala sekolah untuk terus memperhatikan mereka,” ujarnya.

“Ke depannya, kita akan mengumpulkan kepala sekolah SMP Negeri dan swasta serta perwakilan kepala SD untuk memastikan agar mereka memberikan perhatian lebih terhadap kondisi anak-anak di sekolah,” sambung Haris.

Mengapa kasus seperti ini bisa terjadi?
Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, menunjukkan pendapat bahwa ini adalah kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan pelaku yang juga anak.

“Mereka (anak-anak) tidak memahami tindakan mereka. Mereka hanya meniru perilaku orang dewasa yang mereka lihat,” kata Ayu menjelaskan alasannya dalam mengategorikan kasus ini sebagai kekerasan seksual terhadap anak.

Dia juga menambahkan bahwa mereka terpengaruh oleh konten pornografi.

“Dan yang ketiga, mereka kurang edukasi atau tidak berguru mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual serta dampak dari hubungan seksual yang tidak aman, terutama di usia anak,” imbuh Ayu.

Pada tahun 2023, LBH APIK Semarang melaporkan telah menerima 101 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah.

Dari data tersebut, Kabupaten Demak (21) menempati posisi kedua tertinggi di Jawa Tengah untuk kasus kekerasan terhadap perempuan setelah Kota Semarang (68).

Apa makna dari kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak di Demak?
Kasus ini menyoroti kompleksitas isu dalam dunia pendidikan, menurut anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini.

“Ini termasuk lambatnya pemahaman mengenai pendidikan kesehatan reproduksi yang diterima anak,” ucap Diyah.

“Di Indonesia, pendidikan kesehatan reproduksi diajarkan di SMA, seharusnya ini diajarkan sejak dini dengan pendekatan yang berbeda.”

“Demikian pula, relasi kekuasaan antara guru dan murid yang pengawasannya belum optimal, sehingga kasus seperti ini masih sering terjadi,” jelasnya.

Selama periode Januari hingga September 2023, KPAI menerima 1.800 kasus terkait pemenuhan hak anak dan perlindungan anak khusus. Dalam klaster perlindungan anak khusus, anak yang menjadi korban kekerasan seksual menduduki posisi tertinggi dengan 252 kasus.