Program seperti apa yang “bisa” diterapkan di Indonesia?
Berdasarkan kajian SMERU Institute yang dilakukan peneliti Daniel Suryadarma dan Elza Samantha Elmira menunjukkan bahwa program pinjaman mahasiswa dinilai “sangat mungkin” diterapkan di Indonesia.
Namun Elza menegaskan, program seperti yang diterapkan di Amerika Serikat “tidak pantas” diterapkan di Indonesia.
“Model seperti Amerika ini banyak yang menolak, karena modelnya seperti KPR, berdasarkan waktu. Sedangkan mereka adalah anak-anak https://www.sipenmaru.id/ yang tidak bisa bekerja dan sudah terlanjur berhutang, jadi sudut pandang masyarakat pasti. menjadi sangat berat. Artinya mau tidak mau, setelah lulus harus melunasi utangnya, jelasnya.
Model SMERU menyimpulkan bahwa sistem kredit berbasis pendapatan “dapat menjadi solusi alternatif” terhadap kesenjangan akses terhadap pendidikan tinggi di Indonesia. Contohnya kurang lebih sama dengan yang diterapkan di Australia dan Inggris.
Artinya, peminjam hanya dapat melakukan pembayaran ketika pendapatannya mencapai batas minimum yang ditetapkan pemerintah.
SMERU melakukan simulasi pendapatan 11.300 masyarakat Indonesia yang menyelesaikan studi di universitas. Dalam model ini, angka pendapatan minimum mengacu pada pendapatan rata-rata lulusan (pada usia 21 tahun berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional 2015), atau sebesar Rp13,8 juta per tahun.
Kondisinya mungkin berbeda sekarang
Namun dengan ambang batas tersebut, lebih dari 50% lulusan dapat langsung melunasi pinjamannya setelah lulus dan bekerja.
Jumlah yang harus dibayar dihitung sebesar Rp 61 juta untuk empat tahun studi dan biaya hidup selama studi.
Pemerintah, jelas Elza, bisa memastikan setiap bulan debitur menyisihkan 8% penghasilannya secara mencicil, tanpa harus membayar bunga. Dengan rata-rata gaji bulanan sebesar Rp 1.150.000, berarti pembayarannya kurang dari Rp 100.000 per bulan.
Jika pendapatan semakin tinggi maka jatuh temponya akan semakin besar dan utang akan lebih cepat dibayar.
Hasil dari model ini juga menunjukkan bahwa pemerintah telah menetapkan jangka waktu pembayaran kembali selama 20 hingga 25 tahun.
Temuan penting penelitian ini adalah subsidi yang harus diberikan pemerintah berkisar antara 3,1% hingga 48% dari total biaya pendidikan. Tergantung besarnya pendapatan dan bunga yang berlaku. “Tingkat subsidi ini jauh lebih rendah dibandingkan kebijakan beasiswa atau subsidi penuh,” kata Elza.
Sebaliknya, jika terdapat biaya tambahan sebesar 25% atau bunga riil sebesar 2%, misalnya, model ini menunjukkan bahwa subsidi yang diterima dari pemerintah mungkin lebih kecil.
Meski demikian, Elza mengatakan ketimpangan pendapatan perlu diwaspadai karena dapat berdampak pada kemampuan membayar pinjaman.
Misalnya, ketimpangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan berarti akan lebih sulit bagi perempuan untuk melunasi utang pelajarnya.
Selain itu, sistem kredit berbasis pendapatan ini dapat berjalan dengan baik jika sistem perpajakan Indonesia efisien dan sistem pencatatan upah baik. Nailul Huda dari Indef juga menilai program pinjaman pendidikan “sangat layak” asalkan pinjaman tanpa bunga melalui dana LPDP.
Sistem ini dinilai lebih baik dibandingkan sistem pinjaman online karena risiko gagal bayarnya tinggi.
Pilihan lainnya, pemerintah juga bisa menyetujui pinjaman tersebut dengan mengenakan pajak khusus.